Penaklukan Kembali Al Quds

 


Oleh: Alwi Alatas

 

Penaklukkan kembali al-Quds

KOTA al-Quds (Yerusalem) jatuh ke tangan Pasukan Salib pada tahun 1099 (492 H). Ketika kota itu dikuasai Pasukan Salib, 70.000 kaum Muslimin yang berada di kota itu dibunuh oleh Pasukan Salib selama satu minggu lamanya. Selama puluhan tahun berikutnya, tidak ada satu pun kaum Muslimin yang berhasil merebut kembali kota al-Quds dari tangan Pasukan Salib.

Jangankan merebut kembali al-Quds, malah banyak wilayah kaum Muslimin lainnya di Suriah-Palestina yang jatuh ke tangan lawan. Keadaan baru mulai berubah pada masa pemerintahan Nuruddin Zanki (w. 1174), yang kemudian dilanjutkan oleh Shalahuddin al-Ayyubi (w. 1193).

Selepas wafatnya Nuruddin Zanki, Shalahuddin al-Ayyubi yang merupakan salah satu emir terkuat pada masa itu, melakukan konsolidasi atas wilayah Suriah dan Mesopotamia yang tercerai berai dan menyatukannya dengan Mesir yang sudah berada di bawah kepemimpinannya. Pada tahun 1180-an, wilayah kaum Muslimin dari Mesir hingga Iraq (Mesopotamia) mencapai puncak kesolidan dan kekuatannya di bawah kepemimpinan Shalahuddin. Pasukan Salib yang semakin merasa terancam akhirnya menghimpun pasukan besar di bawah kepemimpinan rajanya, Guy of Lusignan.

Pada bulan Juli 1187, terjadi pertempuran besar di antara kedua belah pihak yang dikenal sebagai Perang Hattin. Pada pertempuran itu, Pasukan Salib mengalami kekalahan telak. Guy of Lusignan, Reynald of Chatillon, para pemimpin Templar, dan banyak bangsawan Kristen lainnya tertangkap dan menjadi tawanan. Banyak kota yang selama ini dikuasai oleh Pasukan Salib otomatis kehilangan pemimpinnya. Shalahuddin al-Ayyubi dan pasukannya pun segera menyapu bersih wilayah lawan dan dalam waktu singkat sebagian besar wilayah Pasukan Salib berhasil dikuasai oleh kaum Muslimin. Tiberias, Acre, Beirut, dan Ascalon satu persatu berhasil diambil alih dalam rentang waktu dua bulan saja. Yang menjadi target Shalahuddin berikutnya adalah kota al-Quds.

Pada hari Ahad, 20 September 1187 (15 Rajab 583), Shalahuddin dan pasukannya tiba di depan Yerusalem dan mengambil tempat di bagian selatan kota itu. Lima hari kemudian, Shalahuddin memindahkan pasukannya ke bagian utara yang dilihatnya lebih strategis. Ketika itu kota al-Quds penuh berisi Pasukan Salib, serta perempuan dan anak-anak mereka. Jumlah mereka ketika itu mencapai 60.000 orang. Banyak pelarian dari kota-kota lainnya yang telah jatuh datang ke kota ini, selain ke kota Tyre. Selama masa pengepungan,pertempuran yang sengit terjadi di antara kedua belah pihak. “Ia merupakan pertempuran paling sengit yang pernah disaksikan seseorang,” kata Ibnu al-Athir dalam buku sejarahnya, “karena masing-masing pihak yakin bahwa hal itu merupakan tugas agama dan sesuatu yang bersifat mengikat. Tidak diperlukan motivasi dari para pemimpin (untuk mengobarkan pertempuran, pen.).”

Walaupun demikian, pasukan Muslim ketika itu jauh lebih kuat, sehingga para pemimpin Pasukan Salib di al-Quds akhirnya yakin bahwa mereka tidak mungkin menang. Mereka pun meminta perjanjian damai dengan pasukan Muslim. Mereka ingin menyerahkan kota itu kepada kaum Muslimin dengan syarat mereka diijinkan untuk meninggalkan kota itu dengan aman. Shalahuddin al-Ayyubi berkali-kali menolak permintaan ini. Shalahuddin berkata kepada para utusan Pasukan Salib, “Saya hanya akan memperlakukan kalian sebagaimana kalian dulu memperlakukan penduduk kota ini ketika kalian menaklukkannya …, dengan membunuh, memperbudak, dan membalas kejahatan dengan kejahatan.”

Kata-kata Shalahuddin itu menunjukkan bahwa kaum Muslimin memang tidak pernah melupakan kekejian yang telah dilakukan oleh Pasukan Salib 88 tahun sebelumnya.

Balian of Ibelin yang merupakan seorang ksatria Pasukan Salib yang memimpin al-Quds ketika itu kemudian meminta ijin untuk bertemu dengan Shalahuddin. Kepada Shalahuddin ia kembali memohon agar permintaan mereka dikabulkan, tetapi Shalahuddin tetap menolaknya. Merasa putus asa, ia berkata pada Shalahuddin, “Wahai Sultan, ketahuilah bahwa di dalam kota ini kami adalah kumpulan yang sangat besar dan hanya Tuhan saja yang tahu (berapa jumlahnya). Mereka melunak dalam pertempuran mereka hanya karena mereka mengharapkan kesepakatan ini, (mereka) berpikir bahwa Anda akan menerima kesepakatan ini sebagaimana Anda telah mengabulkannya kepada yang lain. Mereka ingin mengelak dari kematian dan mengharapkan kehidupan. Tetapi, kalau mereka menemukan bahwa kematian sudah tak bisa dihindari, demi Tuhan, kami akan menyembelih anak-anak dan perempuan-perempuan kami, membakar bangunan dan harta benda kami dan tidak akan membiarkan Anda mendapatkan manfaat darinya walaupun hanya sepotong dinar atau dirham, dan tidak dapat pula menjadikan tawanan seorang laki-laki ataupun perempuan. Ketika kami sudah menuntaskan itu semua, kami akan menghancurkan Qubbatus Sakhra’ (Dome of Rock), Masjid al-Aqsa, dan situs-situs lainnya, serta membunuh semua tawanan Muslim yang ada pada kami, 5000 jumlahnya. Kami tidak akan menyisakan untuk Anda suatu tunggangan atau hewan tanpa kami bunuh. Kemudian kami akan maju ke hadapan, semua dari kami, menghadapi Anda dan memerangi Anda seperti orang-orang yang putus asa berjuang demi hidup mereka. Tidak satu pun di antara kami akan terbunuh pada ketika itu melainkan ia membunuh banyak orang di antara kalian. Kami akan mati terhormat atau kami menang dengan gemilang.”

Mendengar kata-kata itu, Shalahuddin mempertimbangkan permintaan Pasukan Salib dan berunding dengan para emir Muslim yang ada. Akhirnya permohonan Pasukan Salib itu diterima.

Mereka menyerahkan kota al-Quds kepada kaum Muslimin dan mereka diizinkan meninggalkan kota itu secara damai. Selain itu disepakati bahwa untuk mendapat izin keluar dari kota itu setiap pria dewasa harus menebus dirinya sebesar 10 dinar, kaum perempuan sebesar 5 dinar, dan anak-anak 2 dinar. Ini menurut Ibnu al-Athir. Bahauddin Ibn Shaddad, seorang ulama, sahabat, sekaligus penulis biografi Shalahuddin, memberikan angka yang sama, kecuali untuk anak-anak yang besar tebusannya menurut beliau adalah 1 dinar.

Kota al-Quds secara resmi diserahkan kepada kaum Muslimin pada hari Jum’at, 27 Rajab 583 H yang bertepatan dengan 2 Oktober 1187. Hari dikuasainya kembali al-Quds merupakan hari yang baik, sayyidul ayyam. Hari Jum’at merupakan hari favorit Shalahuddin untuk memulai pertempuran. Dan tentu saja ia juga merupakan hari favorit untuk meraih kemenangan.

Tanggal kemenangan itu juga merupakan tanggal yang bersejarah. Ibn Shaddad dalam bukunya menulis, “Sultan menerima penyerahan kota itu pada hari Jum’at 27 Rajab. Waktu itu bertepatan dengan (tanggal) Mi’raj Nabi yang telah disebutkan di dalam al-Qur’an al-Karim.”

Pasukan Salib dan orang-orang Frank lainnya (orang-orang Kristen Eropa yang datang dan menetap di Suriah-Palestina) kemudian menebus diri mereka dan satu persatu keluar dari kota itu serta pergi ke kota Tyre.

Shalahuddin al-Ayyubi menepati janjinya dan membiarkan mereka pergi dengan selamat. Kota al-Quds kemudian direnovasi sesuai dengan kepentingan kaum Muslimin. Salib yang ada di pucuk Masjid Umar (Dome of Rock) segera dicopot dan dijatuhkan. Pada Jum’at berikutnya dilaksanakan shalat Jum’at yang pertama di kota itu dan qadhi Damaskus bertindak sebagai imam dan khatibnya. Beberapa waktu kemudian, mimbar yang telah disiapkan oleh Nuruddin Zanki untuk Masjid al-Aqsa dan disimpan di kota Aleppo segera dibawa ke al-Quds dan diletakkan di masjid al-Aqsa.

Peristiwa itu serta kemurahan hati Shalahuddin dan pasukannya terhadap musuh terus dikenang oleh sejarah, oleh kaum Muslimin dan juga oleh dunia Kristen Eropa, hingga saat ini.

Di kota al-Quds, pada tanggal 27 Rajab dan hari-hari setelahnya, Shalahuddin al-Ayyubi dan pasukannya telah menunjukkan sikap belas kasih yang indah terhadap lawan. Hal ini adalah contoh yang telah diberikan oleh Nabi yang rahmatan lil ‘alamin, Nabi yang beberapa abad sebelumnya telah diperjalankan oleh Tuhannya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil al-Aqsa. Semoga pada hari ini, ummat ini pun tidak kehilangan rasa kasih sayang yang telah ditunjuk ajar oleh Nabi mereka dahulu.

Allahumma bariklana fi Rajab wa Sha’ban wa balighna Ramadhan.*/Kuala Lumpur, 6 Sha’ban 1434/ 15 Juni 2013

 

Penulis adalah kandidat doktor bidang Sejarah di IIUM yang juga penulis buku “Nuruddin Zanki dan Perang Salib

Komentar

Postingan Populer